Masyarakat Desa Simpang Tiga Sembelangan menagih janji plasma dari PT Agrolestari Mandiri. Perusahaan sawit PT SMART, Sinarmas Grup ini berdalih sudah memenuhi kewajiban. Di antara pasal dan tanah, janji sosial pun layu.
Tangis lelaki itu pecah di tengah hamparan kebun sawit. Suaranya parau, seolah mengandung seluruh lelah yang dipikul belasan tahun lamanya.
“Kalau bisa, saya sujud dan cium kaki Presiden Prabowo Subianto.” Asal suara kami didengar. Janji memberikan plasma ke kami ditepati,” kata lelaki paruh baya, dikutip laman video TikTok dan beredar luas ke publik.
Lelaki itu bukan satu-satunya yang bersuara. Di sekelilingnya, puluhan warga Desa Simpang Tiga Sembelangan, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, berdiri berbaris di bawah terik matahari.
Mereka tak menuntut banyak—hanya menagih janji 20 persen lahan plasma yang sudah 17 tahun tak kunjung datang.
Mereka berdiri di atas tanah yang dulu milik mereka sendiri, kini menjelma kebun sawit milik PT Agrolestari Mandiri, perusahaan di bawah bendera Sinarmas Group. Sawit tumbuh subur di sini. Tapi di hati warganya, janji kesejahteraan itu tak pernah berbuah.
Semua bermula pada 2007. Saat itu, Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) datang ke desa, didampingi perwakilan PT Agrolestari Mandiri.
Dalam pertemuan di balai desa, warga mendengar janji manis: perusahaan akan bermitra dengan masyarakat, memberi bagian 20 persen dari lahan yang mereka kelola.
“Kami percaya, karena waktu itu mereka bilang, ‘perusahaan untung, masyarakat juga untung’,” kenang warga Dusun Simpang Tiga Sembelangan.
Beberapa warga bahkan menyerahkan tanah mereka. Seorang di antaranya memberikan delapan hektare lahan dan menerima Rp550 ribu dari perusahaan.
“Saya ikhlas waktu itu,” katanya. “Asal hidup kami membaik,” tutur seorang warga, saat ikut aksi damai.
Namun, waktu bergulir. Tahun demi tahun berlalu, sawit makin tinggi, hasil panen terus diangkut. Tapi plasma yang dijanjikan tak pernah sampai ke tangan warga.
Rilis siaran pers PT Agrolestari Mandiri pada Januari 2024, diterima analiswarta, menyebutkan, realisasi tanam kebun PT Agrolestari Mandiri seluas 9.567,73 hektare dan kebun plasma kemitraan seluas 2.698 hektare atau 28,20 persen dari luas tanam kebun perusahaan. Artinya sudah melebihi dari kewajiban 20 persen, sesuai ketentuan Permentan Nomor 98 Tahun 2013.
Perusahaan mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013, yang memberi pengecualian bagi perusahaan dengan izin usaha perkebunan (IUP) terbit sebelum 28 Februari 2007.
“Izin kami keluar tahun 2005 dan sudah menjalankan pola inti-plasma. Jadi kami tidak lagi wajib membangun plasma baru,” ujar Jefri Hasibuan, Regional Controller, kala itu.
Klaim itu bahkan diperkuat surat tanggapan dari Direktorat Jenderal Perkebunan RI dan Dinas Perkebunan Kalimantan Barat. Namun di lapangan, suara warga berkata lain.
Analiswarta berupaya melakukan konfirmasi humas PT SMART, induk PT Agrolestari Mandiri, Anisa. Bahkan empat pertanyaan dikirim melalui via whatshap, hingga berita ini diturunkan belum menjawab.
Janji Sosial yang Tak Tercatat
Dalam setiap konflik sawit, yang hilang bukan sekadar tanah. Yang hilang lebih dalam dari itu: rasa percaya.
Bagi warga Simpang Tiga Sembelangan, janji plasma 20 persen bukan hanya kesepakatan ekonomi, tapi kontrak sosial yang mengikat harapan mereka pada masa depan.
“Saya menyerahkan lahan dengan ikhlas,” ujar seorang warga.
“Saya pikir setelah menyerahkan lahan, anak-anak saya bisa sekolah tinggi. Tapi sekarang, banyak yang malah jadi buruh di kebun, yang dulu milik kami,” tambahnya.
Kini, sebagian warga bekerja di lahan yang dulu mereka serahkan. Upah tak seberapa, cukup untuk makan seadanya. Anak-anak mereka banyak yang berhenti sekolah, sebagian merantau mencari nasib.
“Warga di sini cuma ingin sejahtera.Tapi jangan dibohongi,” kata Syahroni, Kepala Dusun, Desa Simpang Tiga Sembelangan, saat ikut aksi seruan bersama warga desa lainnya.
Kasus ini memperlihatkan jurang lebar antara legalitas dan legitimasi. Secara hukum, perusahaan bisa saja benar. Tapi di mata warga, janji yang pernah terucap di depan publik tetap memiliki beban moral yang tak bisa dihapus pasal.
“Negara harus memastikan bukan hanya kepatuhan terhadap aturan, tapi juga terhadap keadilan sosial,” kata Muhammad Jimi Rizaldi, Sekretaris DPD Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN) Kalimantan Barat.
Jimi menegaskan, Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan menyebut dengan jelas bahwa tujuan utama penyelenggaraan perkebunan adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Artinya, setiap perusahaan perkebunan wajib memberi manfaat nyata bagi masyarakat di sekitar wilayah operasionalnya.
Jika hal itu tak terpenuhi, kata Jimi, maka kegiatan usaha tersebut sejatinya telah melenceng dari semangat undang-undang.
“Perkebunan bukan semata bisnis korporasi,” ujarnya.
Menurutnya, kewajiban perusahaan untuk menyediakan 20 persen lahan plasma bagi masyarakat adalah salah satu bentuk nyata dari semangat pemerataan itu.
“Pemerintah daerah harus aktif mengawasi agar pelaksanaan kemitraan berjalan adil dan transparan,” tambahnya.
Di Simpang Tiga Sembelangan, sawit memang tumbuh subur. Daunnya rimbun, tandannya berat berbuah.
Tapi di hati warganya, janji plasma yang pernah diucapkan—sebuah janji tentang kesejahteraan—tak pernah benar-benar berbuah. (tim)