KETAPANG - Menjaga hutan di tengah desakan ekonomi bukan perkara mudah. Di Ketapang, pemerintah, perusahaan, dan masyarakat kini duduk bersama merancang formula baru agar pengelolaan hutan tetap hijau sekaligus menguntungkan.
Melalui forum diskusi yang digelar Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, mereka mencari jalan keluar antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekologi.
Kementerian Kehutanan RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema Percepatan Implementasi Kemitraan Konsesi Hutan pada PBPH melalui Kajian Rantai Pasok Bahan Baku Berbasis Lanskap di Kabupaten Ketapang, Kamis (16/10/2025).
Pertemuan ini menjadi wadah untuk merumuskan langkah-langkah percepatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui kemitraan antara pemerintah, pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), dan para pemangku kepentingan lainnya.
Penasehat Utama Menteri Kehutanan, Silverius Oskar Unggul, menegaskan bahwa masa depan ekonomi hutan kini tak bisa lagi dipisahkan dari prinsip rendah karbon.
“Ke depan tidak ada lagi orang yang mau membeli produk yang tidak dikelola secara lestari,” ujarnya.
Ia menyebut, lebih dari tiga ribu perusahaan dunia telah berkomitmen pada prinsip tersebut melalui konferensi COP3.
Menurut Silverius, peluang PBPH di Indonesia sangat besar. Dukungan kebijakan dari pemerintah pusat hingga daerah sudah tersedia, dan pendamping teknis juga telah siap.
Ia menilai sistem ekonomi berbasis koperasi dapat menjadi model yang memberi pendapatan pasif bagi masyarakat di sekitar hutan.
Namun di tingkat tapak, tantangan masih terasa nyata. Fadli, perwakilan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ketapang Selatan, mengungkapkan keterbatasan tenaga penyuluh menjadi kendala utama.
“Saat ini hanya ada satu penyuluh yang menangani wilayah kerja Ketapang Selatan. Sementara target Kementerian LHK untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari 68,47 menjadi 73,5 pada 2025 sangat ambisius,” katanya.
Ia mengusulkan adanya pengembangan struktur organisasi menjadi tiga seksi teknis: perhutanan sosial dan pemberdayaan masyarakat, perlindungan dan pengamanan hutan, serta perencanaan dan pemanfaatan hutan.
Berbeda dengan wilayah selatan, KPH Ketapang Utara memiliki lima penyuluh, namun kebutuhan tenaga tambahan tetap mendesak.
Peningkatan jumlah personel dinilai penting untuk memperkuat perlindungan kawasan hutan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Dari sisi perencanaan pembangunan daerah, Nurfadli dari Bappeda Ketapang menyoroti penurunan kualitas lingkungan dalam tiga tahun terakhir.
Ia menyebut penurunan kualitas air di tujuh titik hulu sungai sebagai alarm ekologis.
“Padahal sudah ada dokumen UKL, UPL, dan AMDAL. Ini berarti bukan peraturannya yang kurang, tapi penegakan hukumnya yang belum kuat,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya pengawasan dan penindakan hukum terhadap kegiatan ilegal di kawasan hutan agar indeks kualitas lingkungan hidup tak terus merosot.
Dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Hendra Saputra melaporkan kenaikan signifikan pada pendapatan hasil perhutanan sosial.
Pada 2023, nilai ekonominya mencapai Rp2 miliar, naik menjadi Rp6,7 miliar pada 2024. “Peningkatan ini didorong oleh hasil hutan bukan kayu seperti madu dan damar,” katanya.
Namun, Hendra menyoroti kendala dalam tata niaga hasil hutan kayu. Kompleksitas sistem administrasi dan tumpang tindih izin PBPH menjadi penghambat.
“Banyak izin PBPH yang belum disesuaikan dengan adendum APL. Bahkan di Sanggau, ada sawit di kawasan hutan yang wajib setor Rp70 ribu per ton,” jelasnya.
Dari arah konservasi, Lilik dari Taman Nasional Gunung Palung menyoroti potensi ekonomi dan konservasi yang berjalan beriringan.
Gunung Palung, yang membentang di dua kabupaten—Ketapang dan Kayong Utara—menjadi sumber air bersih bagi tiga perusahaan air minum dan memberi manfaat ekonomi hingga Rp2 miliar per tahun bagi masyarakat sekitar.
“Gunung Palung juga menjadi rumah bagi sekitar 2.440 ekor orangutan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kemunculan orangutan meningkat setiap musim durian, antara Desember hingga Januari.
Lilik menambahkan, Taman Nasional kini mendorong pengembangan desa ramah satwa, wisata berbasis konservasi, dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti tengkawang.
“Kami mendampingi 22 kelompok masyarakat di sekitar kawasan,” katanya. (git)