Di tengah hangatnya udara siang di Sungai Raya, nada suara Sekretaris Daerah Kabupaten Kubu Raya, Yusran Anizam, terdengar tegas namun sarat keprihatinan. Ia tidak sedang berbicara tentang proyek infrastruktur atau angka pertumbuhan ekonomi. Yang dibicarakannya jauh lebih penting, yakni anak-anak yang kehilangan kesempatan bersekolah.
“Jumlah anak tidak sekolah di Kubu Raya masih cukup tinggi. Ada yang putus karena berbagai alasan, ada juga yang menikah muda. Ini tentu sangat memprihatinkan,” ujar Yusran, membuka forum diseminasi Rencana Aksi Daerah Penanganan Anak Tidak Sekolah (RAD PATS) di Hotel Alimoer, Rabu (8/10/2025).
Baginya, persoalan anak tidak sekolah bukan sekadar data statistik. Itu adalah cerita pilu tentang masa depan yang tertunda, tentang generasi yang terhenti di tengah perjalanan menuju impian.
Potret Getir di Tengah Sungai dan Ladang
Di banyak sudut Kubu Raya, cerita tentang anak-anak yang berhenti sekolah masih sering terdengar. Ada yang harus membantu orang tua di ladang, ada yang merantau untuk bekerja, bahkan tak sedikit yang menikah di usia belia.
Faktor ekonomi menjadi alasan paling sering disebut, namun di balik itu, ada pula persoalan sosial yang rumit, akses pendidikan yang belum merata, kesadaran orang tua yang masih rendah, hingga budaya yang terkadang membiarkan anak perempuan berhenti belajar lebih cepat.
“Masalahnya kompleks. Karena itu, kita tidak bisa bekerja sendiri,” kata Yusran dengan nada mantap.
Ia menegaskan, pemerintah kabupaten kini mendapat dukungan dari Badan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat dan BPMP Kalbar.
Forum itu juga menghadirkan narasumber dari Banyuwangi, daerah yang sukses menekan angka anak tidak sekolah lewat inovasi dan kolaborasi lintas sektor.
“Kita ingin belajar dari mereka. Kita bedah masalahnya, kita diskusikan solusi terbaik,” tambah Yusran.
Pendidikan, Jalan Menuju Cahaya
Bagi Yusran, pendidikan bukan hanya soal mendapatkan pekerjaan. Ia melihatnya sebagai jalan panjang menuju kesejahteraan dan kemuliaan hidup.
“Tidak ada jalan lain. Agama juga memerintahkan untuk menuntut ilmu, bahkan sampai ke liang lahat. Ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dalam membentuk peradaban,” tuturnya, penuh keyakinan.
Pernyataan itu bukan sekadar formalitas birokratis. Ada nada emosional yang menyelinap dalam suaranya, seolah ia berbicara bukan hanya sebagai pejabat, tapi juga sebagai ayah yang ingin anak-anaknya dan anak-anak Kubu Raya tumbuh cerdas, mandiri, dan bermartabat.
Di era globalisasi yang makin kompetitif, Yusran mengingatkan bahwa pendidikan adalah perisai sekaligus kompas.
“Kalau anak-anak tidak kita bekali dengan pendidikan yang baik, mereka tidak akan mampu bersaing,” katanya.
Membangun Sekolah, Membangun Harapan
Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah daerah tengah mengupayakan pembangunan sekolah Garuda dan sekolah rakyat di Kubu Raya — sekolah inklusif yang dapat menampung lebih banyak anak-anak dari keluarga kurang mampu.
“Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, Kubu Raya sangat membutuhkan tambahan fasilitas pendidikan. Kita dorong dinas pendidikan agar sekolah Garuda atau sekolah rakyat bisa hadir di sini,” ujarnya penuh harap.
Bagi Yusran, setiap ruang kelas yang dibangun bukan sekadar bangunan fisik. Itu Adalah, masa depan masih bisa diperjuangkan, bahwa setiap anak berhak mendapat kesempatan yang sama untuk bermimpi.
Harapan yang Tak Boleh Padam
Di akhir acara, Yusran menatap para peserta diskusi para guru, penggerak pendidikan, dan perwakilan lembaga. Ia berbicara dengan nada lirih namun berisi,
“Harapan kita sederhana. Jangan ada lagi anak di Kubu Raya yang kehilangan masa depan karena tidak bersekolah.”
Kalimat itu menggema seperti doa. Di tengah segala keterbatasan, tekad itu menyalakan lentera kecil, masa depan Kubu Raya ada di ruang-ruang kelas, di tangan anak-anak yang mau belajar, dan di hati para pemimpin yang tak berhenti memperjuangkan hak mereka untuk belajar. (**)