KETAPANG - Surat edaran Kepala Badan Gizi Nasional Republik Indonesia, Dadan Hidayana, isinya mewajibkan guru honorer menjadi penanggung jawab distribusi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah, menuai pro-kontra.
Di balik insentif Rp100 ribu per hari, muncul kekhawatiran beban baru yang menggeser fungsi utama guru di ruang kelas.
Surat edaran bernomor 5/2025 itu terbit pada 29 September 2025. Isinya, setiap sekolah penerima manfaat MBG wajib menunjuk satu hingga tiga guru penanggung jawab (PIC) distribusi makanan bergizi. Penunjukan diprioritaskan bagi guru bantu dan honorer dengan sistem rotasi harian.
Sebagai kompensasi, pemerintah menetapkan insentif Rp100 ribu bagi setiap guru PIC sesuai jadwal yang ditentukan.
Dana ini dibebankan pada biaya operasional SPPG dan dicairkan setiap sepuluh hari sekali. Kepala sekolah bertugas mengatur rotasi dan memastikan pelaporan sesuai aturan.
Namun, kebijakan itu dipandang tak sederhana. Kepala Bagian Ketenagaan Dinas Pendidikan Ketapang, Yulianto, menilai program nasional memang perlu dukungan. Hanya saja, ia menyarankan distribusi MBG sebaiknya tidak melibatkan guru.
"Guru tugasnya mengajar di kelas agar tidak mengganggu prlayanan. Untuk pendistribusian bisa dilakukan tenaga kependidikan, TU, atau satpam," ujarnya, Kamis (2 /10/2025).
Suara keberatan juga datang dari kalangan guru. Nur Khalifah, guru honorer di salah satu SD di Ketapang, menganggap kebijakan ini berpotensi menambah beban tanpa kontrak resmi.
"Hanya satu sampai tiga guru honorer yang dipilih, tentu bisa menimbulkan ketidakadilan. Guru seharusnya mendidik, bukan mengurus distribusi makanan," katanya.
Ia menilai program MBG adalah wujud kewajiban negara menjamin hak pangan dan pendidikan anak. Tapi jika pelaksanaannya justru menimbulkan masalah baru, menurutnya kebijakan itu perlu ditinjau ulang.